Entah apa yang menggerakkan tangan saya memungut pena dan membuat tulisan
ini. Mungkin karena rindu yang terpendam dalam dada terus meronta-ronta untuk
mengejewantah dalam bentuk fisis (lebay ah). Entahlah, namun kisah-kisah serta
asam-manis-pahit yang saya rasakan dalam sebuah ‘gua’ merupakan pengalaman berharga yang tak cukup diungkapkan dengan
kata-kata. Terus terang saya rindu terhadap tempat saya menimba berbagai macam
ilmu dan memanfaatkannya dalam menyelesaikan berbagai problematika kehidupan
yang saya alami sekarang. Tempat saya pertama kali mencicipi manisnya ukhuwah,
damainya menghafal qur’an, dan letihnya perjuangan akademik. Sungguh malu
rasanya mengingat kegigihan saya dulu ketika sekarang malah terombang-ambing
menjalankan kehidupan sebagai mahasiswa.
Al-Kahfi, tempat lahirnya mimpi-mimpi besar seorang bocah asal Tangerang
Selatan. Titik balik kehidupan saya mulai ketika memutuskan masuk pesantren
tersebut. ‘Ingin memperbaiki diri’ mungkin merupakan modus utama saya,
mengingat masa-masa ‘gabut days’ saya
di SMP. Pulang sekolah bergegas untuk
pacaran dengan komputer tercinta, menikmati dunia maya yang penuh imajinasi. Ya, sejak saya masuk ‘gua’, posisi untuk
kegiatan tersebut telah digeser mimpi-mimpi besar yang terbentuk oleh dorongan
dan motivasi para asatidz
(plural: guru). Setiap
kegiatan di ‘gua’ saya prioritaskan untuk memetik buah hikmah dan ilmu
sebanyak-banyaknya, memanfaatkan segala waktu kosong untuk belajar dan terus
belajar, beribadah dan terus beribadah.
Sungguh tak pernah terbersit sekalipun dalam pikiran saya untuk meraih
berbagai macam kenikmatan yang saya dapatkan di ‘gua’ tersebut. Saya hanya satu
dari beberapa anak SMP negeri yang melanjutkan SMA-nya di pesantren tersebut,
sisanya adalah santri-santri yang dari SMP yang memang sudah bermukim di situ. Ketika
itu, ekspektasi saya untuk meraih prestasi tidak terlalu besar, mengingat
banyak pelajaran yang masih asing seperti fiqih, aqidah, tafsir dan lainnya.
Walaupun begitu, saya memiliki tekad yang kuat untuk mempelajari itu semua,
saya percaya saya punya potensi yang masih tumpul dan perlu diasah. Potensi
yang hanya timbul tenggelam saat SMP saya kemukakan sedemikian rupa,
mengharpakan output berupa pribadi yang lebih berkualitas. Tidak sia-sia
memang, ketika kelas XI alhamdulillah saya meraih juara umum serta memenangkan lomba esai ilmiah nasional. Benar-benar tak pernah terpikirkan. Ketika
momen wisuda pun saya masih dianugerahi Allah SWT sebagai lulusan terbaik. Setelah lulus, saya kerap merenungkan: apa yang
bisa membuat saya seperti ini? Jawaban yang terlintas seketika dalam pikiran
saya adalah: lingkungan yang luar biasa mendukung.
Satu hikmah berharga yang saya dapatkan sembari menapaki jalan hidup
saya adalah betapa krusialnya faktor biah
(lingkungan) bagi perkembangan karakter dan emosi kita. Kita akan dihadapkan
dengan berbagai kondisi lingkungan yang memberikan dampak bervariasi. Ketika
lulus dari Al Kahfi, jalanan baru terbentang luas di hadapan kita. Bagaimana
kalian menapakinya akan sangat bergantung pada jenis lingkungan apa kalian
berada. Fenotipe kita terbentuk 80% dari faktor lingkungan dan 20% faktor
genetik. Ketika saya masuk Al Kahfi, saya tidak berubah secara intelektual, namun
lingkungan pondok yang syahdu dan islami telah memantik api semangat dalam hati
saya untuk terus bekerja dan berlelah-lelah. Ketika menduduki bangku kuliah,
saya merasa there’s something missing.
Tuntutan pondok sudah tak ada, mau ngapain aja terserah, its my life now. Saya yakin para alumni sudah pernah merasakannya. Ya, perasaan puas itulah yang membuat saya
menamatkan berpuluh-puluh serial anime dan manga di kosan. Saya merasakan
kehampaan yang mendalam seiring dengan rasa puas tersebut. Perasaan ‘tidak
produktif’, tidak kreatif dan hanya bermalas-malasan menikmati karya orang
tanpa menghasilkan apa-apa. You know what
I mean lah... Bagaimana menetralisir hal tersebut agar tidak menggerogoti
jiwa kita? Tentu saja balik lagi ke biah kita
kawan. Dengan aktivitas saya dengan kawan-kawan masjid Salman dan Lembaga
Dakwah Kampus GAMAIS, kehampaan tersebut terisi, semangat membuncah kembali,
sehingga kegiatan akademik pun terasa lebih nikmat.
Untuk santri dan Alumni Al Kahfi, dimanapun kalian berada, identitas
sebagai santri adalah sesuatu yang berharga. Jika kalian menanggalkannya,
apalah arti 3-6 tahun menderma baktikan jiwa dan raga menjalani penempaan diri?
Jika mengalami futur dan kejenuhan, banting lagi setir niat ke jalan yang
benar, visi setiap insan yang berlandaskan konsep uluhiyah. Niat karena Allah akan kembali mengebumikan produktivitas
dan semangat juang. Tanya saja kakak-kakak kalian yang sedang memperjuangkan
idealsime mereka, terus menempa diri meraih ridho ilahi. Banyak yang berpikir
akan bebas ketika keluar dari ‘gua’, bagai burung yang keluar dari sangkar.
Saya tidak mengatakan itu salah, karena memang kita lebih bebas mengeksplorasi
potensi kita untuk menghasilkan karya dan kretivitas yang akan mengguncang
bangsa ini. Ketika keluar, kita dihadapkan dengan lingkungan baru yang penuh
tantangan keimanan. Kita akan dihadapi dengan berbagai pilihan sehingga surat
At Takwir ayat 26 akan terus
terngiang-ngiang dalam pikiran: ‘fa aina
tadzhabuun?’, ke manakah kau akan pergi? Pilihan, pilihan dan pilihan akan
terus memborbardir pikiran kalian yang berjuang di jalan Allah. Walau begitu,
kita mempunyai bekal, bekal yang kita simpan selama 3-6 tahun. Sia-siakah?
Bekal sekecil apapun asal diberdayakan dengan benar, akan sangat bermanfaat, trust me.
Saya bukan siapa-siapa, hanya seorang alumni ‘gua’ yang menggoreskan pena
-atau mungkin menekan tuts keyboard- sebagai sarana mengembangkan kapasitas dan
passion untuk membangun perdaban dan melukis Indonesia (halah).
“Keep shining even in the darkest and most rotten place, because you are
diamonds that are mined out from the most spectacular cave.”
Muhammad Hamzah
Angkatan 3 SMA IT Al Kahfi